Senin, 01 Juni 2009

TENTANG DZIKIR


Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran dan kelalaian. Pembersihan dari hal tersebut adalah wajib, maka memasuki thariqoh, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekedar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi kalau benar masuk thariqoh itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati ini akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagungan Allah, kalau didalamnya terdapat kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kebersihan hatinya tergantung pada kadar kejujurannya. Tingkatan kejujuran tergantung pada kadar keikhlasannya. Dan tingkatan keikhlasan tergantung pada kadar keridloannya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.” Demikian keterangan Ra’is ‘Am tentang thariqoh.


TALQIN DZIKIR

Di dalam thariqoh ada yang disebut talqinu adz-dzikr, yakni pendiktean kalimat “dzikir la ilaaha illallah” dengan lisan (diucapkan) atau pendiktean ismu adz-dzat lafadz Allah secara bathiniyah dari seorang guru mursyid kepada muridnya. Dalam melaksanakan dzikir thariqoh seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttashil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa melalui talqin dan ta’lim dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada guru mursyid shohibuth thariqoh, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Karena dzikir tidak akan memberikan faidah secara sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena isi (rahasia) di dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah Saw, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah ‘Azza wa Jalla.

Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim di sebut bai’at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang Agung. Jadi jika seeorang berbai’at thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah di talqin/dibai’at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah Saw. Jadi kalau induknya di tarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah Saw itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/ berbai’at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu di tarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghiroh (semangat) dan kemauan untuk berbai’at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabathah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

DASAR TALQIN DZIKIR

Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukan kepada jama’ah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw telah men-talqin para sahabatnya, baik secara berjama’ah atau perorangan.

Adapun talqin Nabi Saw kepada para sahabatnya secara jamaah sebagaimana diriwayatkan dari Sidad bin Aus RA: ”Ketika kami (para sahabat) berada di hadapan Nabi Saw, beliau bertanya: ”Adakah diantara kalian orang asing (maksud beliau adalah ahli kitab-red), aku menjawab: ”Tidak!” Maka beliau menyuruh menutup pintu, lalu berkata: ”Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah!” Kemudian beliau melanjutkan: ”Alhamdulillah, ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini ”La ilaaha illallah”, Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku Surga karenanya. Dan Engkau sungguh tidak akan mengingkari janji.” Lalu beliau berkata: ”Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.”

Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwaniy dengan sanad yang sahih, bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW: ”Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi hambanya dan yang paling utama di sisi-Nya!” Maka Beliau menjawab:” Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah La ilaaha illallah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada di atas daun timbangan dan La ilaaha illallah berada di atas daun timbangan yang satunya, maka akan lebih beratlah ia (la ilaaha illallah),” lalu lanjut beliau: ”Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi ini masih ada orang yang mengucapkan kata ’’Allah’’.” Kemudian sahabat Ali berkata: ”Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut nama Allah?” Beliau menjawab: ”Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya. ”Kemudian Nabi Saw mengucapakan La ilaaha illallah tiga kali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu sahabat Ali bergantian mengucapkan La ilaaha illallah seperti itu dan Nabi Saw mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (La ilaaha illallah).

Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa mengerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadz ismudz-dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi Saw dengan sabdanya: ”Qul Allah Tsumma dzarhum” (Katakanlah, ”Allah” lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-Shiddiq Al-A’dham (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ) yang mengambilnya secara batin dari Al-Musthofa Saw. Inilah dzikir yang bergaung mantap di hati Abu Bakar Ra. Nabi Saw bersabda: ”Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap di dalam hatinya.” Inilah dasar talqin dzikir sirri.

Semua aliran thariqoh bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada Sayyidina Ali Karamallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina Abu Bakar Ra untuk dzikir sirri. Maka kedua beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang.

Nabi Saw mentalqin kalimah thoyibah ini kepada para sahabat radliallah ‘anhum untuk membersihkan hati mereka dan mensucikan jiwa mereka, serta menghubungkan mereka ke hadirat iIaahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni. Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimah thoyibah ini atau Asma-asma Allah yang lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali si pelaku dzikir menerima talqin dari syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim, terhadap makna Al-Qur’an dan syariat, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam akidah dan ilmu kalam. Dimana syaikhnya tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikhnya yang agung, yang satu dari syaikh agung yang lainnya sampai kepada Rasulullah Saw.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar